TUGAS ILMU SOSIAL DASAR MENEGENAI ARSITEKTUR DAN AGAMA
MAKALAH ILMU SOSIAL DASAR - PURA
BESAKIH-STKIP"AH" SINGARAJA
I.Kata pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadiarat Tuhan Yang
Maha Esa yang telah menganugrahkah kepada kami anugrah berupa kenikmatan dan
kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami denagan sebaik –
baiknya.
Arsitektur dan yempat ibadah agama tertentu adalah dua hal yang tidak bisa
sipisahkan dalam sebuah bangunan. Jika kita ibaratkan adalah sebagai dua sisi
mata uang logam. Secara garis besar ke dua-duanya sangat paenting atau boleh
dikatakan slaing berkaitan. Dalam perkembangannya keduanya mengalami
inovasi-inovasi (pembaharuan) sesuai dengan tuntutan jaman yang ada. Oleh
karena itu sebagai seorang ahli atau boleh dikatan seorang yang bergelut
didunia perumahan dan yang berhubungan dengannya, maka alangkah baiknya jika
kita sedikit banyak mengenal perkembangam setruktur-setruktur dan kontruksi
yang ada dewasa ini. Ini akan membuat dan mempermudah kita dalam penerapan
disen, dan memebantu mempermudah dalam mendisen bagi seorang disener bangunan
(Arsitek). Secara garis besar pemahaman tentang setruktur dan kontruksi bagi
orang yang berkecimpung di dunia perumahan itu sangat penting.Agama adalah sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah dari kehidupan.[note 1] Banyak agama memiliki narasi, simbol, dan sejarah suci yang dimaksudkan untuk menjelaskan makna hidup dan / atau menjelaskan asal usul kehidupan atau alam semesta. Dari keyakinan mereka tentang kosmos dan sifat manusia, orang memperoleh moralitas, etika, hukum agama atau gaya hidup yang disukai. Menurut beberapa perkiraan, ada sekitar 4.200 agama di dunia.Ada 6 Agama yang diakui di indonesia Agama Islam tempat ibadahnya Masjid, Kristen Protestan tempat ibadahnya Gereja, Kristen Katolik tempat ibadahnya Gereja, Hindu tempat ibadahnya Pura, Buddha tempat ibadahnya Vihara , dan Kong Hu Cu tempat ibadahnya Li Tang / Klenteng. Pada Makalh ini saya akan membahas mengenai agama hindu dan tempat ibadahnya..
Diahir kata Sebagai insan kami tak luput dari kekhilafan, kekurangan dalam penyusunan makalah kami, maka kami memon maaf yang sebesar-besarnya dan kami mengharapan pula adanya kritik dan saran dari para pembaca sekalian.
Cibubur, 19 Januari 2016
MAKALAH ILMU SOSIAL DASAR - PURA
BESAKIH-STKIP"AH" SINGARAJA
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Pengetahuan Agama Hindu
dibali kini sudah mengalami suatu peningkatan dari segi pemahaman dan
kreatifitas orang hindu sudah mulai muncul, ini diakibatkan karma pada masa ini
dengan banyaknya berbagai bencana dan hal – hal yang diluar pemikiran manusia
yang menjadi landasan kesadaran manusia untuk memahami lebih dalam tentang
ajaran Agama. Dengan banyak bimbingan maupun darmawacana dari bebrbagai orang
suci umat hindu di Bali khususnya mendapatkan banyak kesadaran bahwa kita tidak
hanya sekedar memeluk tetapi memahami apa makna,maupun dapat melakukan sutu
perbuatan yang tercermin ke Dharmaan di dalam beragama Hindu.
Kita orang Hindu harus
berbangga, karma Hindu merupakan agama tertua di dunia, bahkan untuk saat ini
sudah banyak muncul bukti – bukti sejarah keberadaan Agma Hindu di Indonesia
dan Di bali khususnya. Agar kita sebagai umat hindu dapat menjaga dan
melestarikan warisan budaya dan banyak tempat suci sebagai simbolisasi
keagungan Hindu di bali yang menjadi pulau seribu pura yang menjadi kebanggaan
umat hindu. Dengan demikian kita sebagai umat hindu yang memiliki kemauan untuk
menjaga keajegan bali agar dapat menjaga dan melestrikan tempat suci ( Pura )
dan mengetahui apa makna maupun filosfi dari berdirinya tempat suci tersebut
untuk dapat menambah keyakinan kita untuk memeluk agama Hindu.
Dibawaha ini saya akan
uraikan salah satu tempat suci yang menjadi simbol kebessaran bagi umat hindu
dibali, di Indonesia maupun didunia, pura tersebur adalah Pura Besakih yang
merupakan pura Sad Khayangan yang dipercayai oleh umat hindu.
I.2 Rumusan Masalah.
Dari Penjelasan latar
belakang di atas dapat ditarik beberapa pertanyaan yang menjadi isi pokok
masalah untuk pembahasan makalah.
1. Bagaimana Sejarah
Berdirinya pura Besakih
2. Apa makna Folosofi dari
Pura Besakih
3. Bagaimana Tatanan Pura
Besakih maupun piodalan dari pura yang ada
1.3 Tujuan
Apapun yang kita lakukan
di dalam melakukan sesuatu pasti didasari atas tujuan yang pasti. Dengan demikian
didalam membahas tentang tempat suci ini saya memiliki beberapa tujuan dari
pokok permasalahan di atas.
1.
Kita dapa
mengetahui sejarah berdirinya Pura Besakih
2.
Kita dapa
mengetahui makna filosofis Pura Besakih
3.
Kita
dapat mengetahui tata letak dan nama Pura berikut odalanya
Bab II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah berdirinya Pura
Besakih
Pura adalah istilah untuk
tempat ibadah agama Hindu di Indonesia. Pura di Indonesia terutama terkonsentrasi di Bali
sebagai pulau yang mempunyai mayoritas penduduk penganut agama Hindu. Kata
"Pura" sesungguhnya berasal dari akhiran bahasa Sansekerta (-pur, -puri, -pura, -puram, -pore), yang artinya
adalah kota, kota berbenteng, atau kota dengan menara atau istana. Dalam
perkembangan pemakaiannya di Pulau Bali, istilah "Pura" menjadi khusus
untuk tempat ibadah; sedangkan istilah "Puri" menjadi khusus
untuk tempat tinggal para raja dan bangsawan.
Inilah asal mulanya ada
Besakih, sebelum ada apa-apa hanya terdapat kayu-kayuan serta hutan belantara
di tempat itu, demikian pula sebelum ada Segara Rupek (Selat Bali). Pulau Bali
dan pulau Jawa dahulu masih menjadi satu dan belum dipisahkan oleh laut. Pulau
itu panjang dan bernama Pulau Dawa. Di Jawa Timur yaitu di Gunung Rawang
(sekarang dikenal dengan nama Gunung Raung) ada seorang Yogi atau pertapa yang
bernama Resi Markandeya.
Beliau berasal dan Hindustan (India), oleh para
pengiring-pengiringnya disebut Batara Giri Rawang karena kesucian rohani,
kecakapan dan kebijaksanaannya (sakti sidhi ngucap). Pada mulanya Sang Yogi Markandeya
bertapa di gunung Demulung, kemudian pindah ke gunung Hyang (konon gunung Hyang
itu adalah DIYENG di Jawa Tengah yang berasal dan kata DI HYANG). Sekian
lamanya beliau bertapa di sana, mendapat titah dari Hyang Widhi Wasa agar
beliau dan para pengikutnya merabas hutan di pulau Dawa setelah selesai, agar
tanah itu dibagi-bagikan kepada para pengikutnya.
Sang Yogi Markandeya melaksanakan titah itu dan segera
berangkat ke arah timur bersama para pengiring-pengiringnya kurang lebih
sejumlah 8000 orang. Setelah tiba di tempat yang dituju Sang Yogi Markandeya
menyuruh semua para pengiringnya bekerja merabas hutan belantara, dilaksanakan
sebagai mana mestinya.
Saat merabas hutan, banyak para pengiring Sang Yogi Markandeya yang sakit, lalu mati dan ada juga yang mati dimakan binatang buas, karena tidak didahului dengan upacara yadnya (bebanten / sesaji)
Saat merabas hutan, banyak para pengiring Sang Yogi Markandeya yang sakit, lalu mati dan ada juga yang mati dimakan binatang buas, karena tidak didahului dengan upacara yadnya (bebanten / sesaji)
Kemudian perabasan hutan dihentikan dan Sang Yogi
Markandeya kembali lagi ke tempat pertapaannya semula (Konon ke gunung Raung di
Jawa Timur. Selama beberapa waktu Sang Yogi Markandeya tinggal di gunung Raung.
Pada suatu hari yang dipandang baik (Dewasa Ayu) beliau kembali ingin
melanjutkan perabasan hutan itu untuk pembukaan daerah baru, disertai oleh para
resi dan pertapa yang akan diajak bersama-sama memohon wara nugraha kehadapan
Hyang Widhi Wasa bagi keberhasilan pekerjaan ini. Kali ini para pengiringnya
berjumlah 4000 orang yang berasal dan Desa Age (penduduk di kaki gunung Raung)
dengan membawa alat-alat pertanian selengkapnya termasuk bibit-bibit yang akan
ditanam di hutan yang akan dirabas itu. Setelah tiba di tempat yang dituju,
Sang Yogi Markandeya segera melakukan tapa yoga semadi bersama-sama para yogi
lainnya dan mempersembahkan upakara yadnya, yaitu Dewa Yadnya dan Buta Yadnya.
Setelah upacara itu selesai, para pengikutnya disuruh bekerja melanjutkan
perabasan hutan tersebut, menebang pohon-pohonan dan lain-lainnya mulai dan
selatan ke utara. Karena dipandang sudah cukup banyak hutan yang dirabas, maka
berkat asung wara nugraha Hyang Widhi Wasa, Sang Yogi Markandeya memerintahkan
agar perabasan hutan, itu dihentikan dan beliau mulai mengadakan
pembagian-pembagian tanah untuk para pengikut-pengikutnya masing-masing
dijadikan sawah, tegal dan perumahan.
Di tempat di mana dimulai perabasan hutan itu Sang
Yogi Markandeya menanam kendi (payuk) berisi air, juga Pancadatu yaitu berupa
logam emas, perak, tembaga, besi dan perunggu disertai permata Mirah Adi
(permata utama) dan upakara (bebanten / sesajen) selengkapnya diperciki tirta
Pangentas (air suci). Tempat di mana sarana-sarana itu ditanam diberi nama
BASUKI. Sejak saat itu para pengikut Sang Yogi Markandeya yang datang pada
waktu-waktu berikutnya serta merabas hutan untuk pembukaan wilayah baru, tidak
lagi ditimpa bencana sebagai mana yang pernah dialami dahulu. Demikianlah
sedikit kutipan dari lontar Markandeya Purana tentang asal mula adanya desa dan
pura Besakih yang seperti disebutkan terdahulu bernama Basuki dan dalam
perkembangannya kemudian sampai hari ini bernama Besakih.
Mungkin berdasarkan pengalaman tersebut, dan juga
berdasarkan apa yang tercantum dalam ajaran-ajaran agama Hindu tentang Panca
Yadnya, sampai saat ini setiap kali umat Hindu akan membangun sesuatu bangunan
baik rumah, warung, kantor-kantor sampai kepada pembangunan Pura, demikian pula
memulai bekerja di sawah ataupun di perusahaan-perusahaan, terlebih dahulu
mereka mengadakan upakara yadnya seperti Nasarin atau Mendem Dasar Bangunan.
Setelah itu barulah pekerjaan dimulai, dengan pengharapan agar mendapatkan
keberhasilan secara spiritual keagamaan Hindu di samping usaha-usaha yang
dikerjakan dengan tenaga-tenaga fisik serta kecakapan atau keahlian yang mereka
miliki. Selanjutnya memperhatikan isi lontar Markandeya Purana itu tadi dan
dihubungkan pula dengan kenyataan-kenyataan yang dapat kita saksikan
sehari-hari sampai saat ini tentang tata kehidupan masyarakat khususnya dalam
hal pengaturan desa adat dan subak di persawahan. Oleh karena itu dapat kita
simpulkan bahwa Besakih adalah tempat pertama para leluhur kita yang pindah dari
gunung Raung di Jawa Timur mula-mula membangun suatu desa dan lapangan
pekerjaan khususnya dalam bidang pertanian dan peternakan. Demikian pula
mengembangkan ajaran-ajaran agama Hindu.
2.2. Makna Filosofis Pura Besakih
Kajian tentang Pura Besakih ternyata mengandung makna
yang luas dalam kehidupan umat Hindu Bali. Keberadaan fisik bangunan Pura
Besakih, tidak sekedar tempat ibadah terbesar di pulau Bali, namun didalamnya
memiliki keterkaitan latar belakang dengan makna Gunung Agung. Sebuah gunung
tertinggi di pulau Bali yang dipercaya sebagai arwah serta alam para Dewata.
Sehingga tepatlah kalau di lereng Barat Daya Gunung Agung dibuat bangunan suci
Pura Besakih yang bermakna filosofis. Demikian diungkapkan Wisnu Minsarwati,
S.T., M.Hum saat ujian doktor hari Kamis, 22 Desember 2005 di ruang seminar
Sekolah Pascasarjana UGM.
Makna filosofis yang terkadung di Pura Besakih dalam
perkembangannya mengandung unsur-unsur kebudayaan yang meliputi: 1) Sistim
pengetahuan, 2) Peralatan hidup dan teknologi, 3) Organisasi social
kemasyarakatan, 4) Mata pencaharian hidup, 5) Sistim bahasa, 6) Religi dan
upacara, dan 7) Kesenian. “Ketujuh unsur kebudayaan itu diwujudkan dalam wujud
budaya ide, wujud budaya aktivitas, dan wujud budaya material. Hal ini sudah
muncul baik pada masa pra-Hindu maupun masa Hindu yang sudah mengalami
perkembangan melalui tahap mitis, tahap ontologi dan tahap fungsional”,
Bangunan fisik Pura Besakih telah mengalami
perkembangan dari kebudayaan pra-hindu dengan bukti peninggalan menhir, punden
berundak-undak, arca, yang berkembang menjadi bangunan berupa meru, pelinggih,
gedong, maupun padmasana sebagai hasil kebidayaan masa Hindu. “bahwa latar
belakang keberadaan bangunan fisik Pura Besakih di lereng Gunung Agung adalah
sebagai tempat ibadah untuk menyembah Dewa yang dikonsepsikan gunung tersebut
sebagai istana Dewa tertinggi,pada tahapan fungsional manusia Bali menemukan
jati dirinya sebagai manusia homo religius dan mempunyai budaya yang bersifat
sosial religius, bahwa kebudayaan yang menyangkut aktivitas kegiatan selalu
dihubungkan dengan ajaran Agama Hindu. Dalam budaya masyarakat Hindu Bali,
ternyata makna Pura Besakih diidentifikasi sebagai bagian dari perkembangan
budaya sosial masyarakat Bali dari mulai pra-Hindu yang banyak dipengaruhi oleh
perubahan unsur-unsur budaya yang berkembang, sehingga mempengaruhi perubahan
wujud budaya ide, wujud budaya aktivitas, dan wujud budaya material. “Perubahan
tersebut berkaitan dengan ajaran Tattwa yang menyangkut tentang konsep
ketuhanan, ajaran Tata-susila yang mengatur bagaimana umat Hindu dalam
bertingka laku, dan ajaran Upacara merupakan pengaturan dalam melakukan
aktivitas ritual persembahan dari umat kepada TuhanNya, sehingga ketiga ajaran
tersebut merupakan satu kesatuan dalam ajaran Agama Hindu di Bali”, tandas
Wisnu Minsarwati (Humas UGM).
1. Filosofi
Keberadaan fisik bangunan Pura Besakih, tidak sekedar
menjadi tempat bersemayamnya Tuhan, menurut kepercayaan Agama Hindu Dharma,
yang terbesar di pulau Bali, namun di dalamnya memiliki keterkaitan latar
belakang dengan makna Gunung Agung. Sebuah gunung
tertinggi di pulau Bali yang dipercaya sebagai pusat Pemerintahan Alam Arwah,
Alam Para Dewata, yang menjadi utusan Tuhan untuk
wilayah pulau Bali dan sekitar. Sehingga tepatlah kalau di lereng Barat Daya
Gunung Agung dibuat bangunan untuk kesucian umat manusia, Pura Besakih yang
bermakna filosofis.
Makna filosofis yang terkadung di Pura Besakih dalam perkembangannya
mengandung unsur-unsur kebudayaan yang meliputi:
- Sistem pengetahuan,
- Peralatan hidup dan teknologi,
- Organisasi sosial kemasyarakatan,
- Mata pencaharian hidup,
- Sistem bahasa,
- Religi dan upacara, dan
- Kesenian.
Ketujuh unsur kebudayaan itu diwujudkan dalam wujud budaya ide, wujud
budaya aktivitas, dan wujud budaya material. Hal ini sudah muncul baik pada
masa pra-Hindu maupun masa Hindu yang sudah mengalami perkembangan melalui
tahap mitis, tahap ontologi dan tahap fungsional.
Berdasar sebuah penelitian, bangunan fisik Pura
Besakih telah mengalami perkembangan dari kebudayaan pra-hindu dengan bukti peninggalan menhir, punden berundak-undak, arca, yang berkembang menjadi bangunan berupa meru, pelinggih, gedong, maupun padmasana sebagai hasil
kebudayaan masa Hindu.
Latar belakang keberadaan bangunan fisik Pura Besakih di lereng Gunung
Agung adalah sebagai tempat ibadah untuk menyembah Dewa yang dikonsepsikan
gunung tersebut sebagai istana Dewa tertinggi.
Pada tahapan fungsional manusia Bali menemukan jati dirinya sebagai manusia
homo religius dan mempunyai budaya yang bersifat sosial religius, bahwa
kebudayaan yang menyangkut aktivitas kegiatan selalu dihubungkan dengan ajaran
Agama Hindu.
Dalam budaya masyarakat Hindu Bali, ternyata makna Pura Besakih
diidentifikasi sebagai bagian dari perkembangan budaya sosial masyarakat Bali
dari mulai pra-Hindu yang banyak dipengaruhi oleh perubahan unsur-unsur budaya
yang berkembang, sehingga mempengaruhi perubahan wujud budaya ide, wujud budaya
aktivitas, dan wujud budaya material. Perubahan tersebut berkaitan dengan
ajaran Tattwa yang menyangkut tentang konsep
ketuhanan, ajaran Tata-susila yang mengatur
bagaimana umat Hindu dalam bertingka laku, dan ajaran Upacara merupakan pengaturan dalam melakukan aktivitas ritual
persembahan dari umat kepada TuhanNya, sehingga ketiga
ajaran tersebut merupakan satu kesatuan dalam ajaran Agama Hindu di Bali.
2.3 Tatanan Arsitektur dan piodalan Pura Besakih
Denah situasi dan letak pura.
1. Pura Pesimpangan
Dari Pura Dalem Puri ke timur
dan membelok lagi ke selatan yaitu di sebelah timur jalan raya, di tempat yang
agak terpencil, terletak Pura Pesimpangan. Piodalannya pada hari Anggara Keliwon Julungwangi,
pura ini merupakan tempat pesimpangan (singgah) sejenak bila kembali melelasti
dari Segara Kelotok Klungkung.
2. Pura Dalem Puri
Pura ini terletak paling selatan dari Pura Penataran Agung, yaitu
di sebelah barat sungai. Untuk mencapainya kita harus berjalan kaki kira-kira
300 meter ke utara dan kemudian membelok ke barat di suatu tempat yang agak
terpencil. Di pura ini distanakan Bhatari Durga yang dahulu dinamai Pura
Dalem Kedewatan. Para umat Hindu yang telah selesai mengadakan Upakara
Pitra Yadnya yaitu ngaben dan Memukur atau Ngeroras
biasanya ke pura ini, Mendak Nuntun Sang Pitara untuk distanakan di Sanggah
atau Pemerajan masing-masing. Di sekitar Pura Dalem Puri terdapat suatu
tanah lapang yang agak luas yang dinamai Tegal Penangsaran dilengkapi
sebuah Pelinggih Tugu kecil di sebelah timur pura. Piodalan di
pura ini pada hari Buda Keliwon Ugu, sedang
setiap tahun pada sasih Kepitu penanggal 1, 3 atau 5
diselenggarakan upakara Yadnya Ngusaba Kepitu. Di dalam pura inilah
menurut suatu cerita, Sri Jayakasunu menerima pewarah-warah atau sabda
dari bhatari Durga tentang Upacara Eka Dasa Rudra, Tawur Kesanga,
Galungan, Kuningan dan lain - lainnya, yaitu setelah Sri
Mayadenawa dihancurkan karena tindakannya menghalang-halangi masyarakat
melakukan ibadah agamanya ke Pura Besakih.
3. Pura Manik Mas
Pura ini merupakan Kahyangan Dewi Pertiwi atau disebut
juga Sang Hyang Giriputri (Saktinya Siwa). Piodalannya pada hari Saniscara Keliwon Wariga (Tumpek
Uduh). Di tempat ini seharusnya umat sembahyang dengan mempersembahkan
aturan sepatutnya sebelum ia akan ke Pura Penataran Agung
Besakih. Maksudnya agar baik jasmani dan rohani disucikan secara niskala
sebelum akan menyelenggarakan sesuatu upakara Yadnya baik di Pura Penataran Agung maupun
di pura pura sekitarnya. Diceriterakan oleh orang-orang tua, bahwa di masa-masa
yang lalu yaitu waktu zaman Dalem atau Raja beliau biasanya ke Besakih dengan
menunggang kuda, diiringi oleh masyarakat. Di sebelah selatan Pura Manik Mas
beliau turun, kemudian bersama-sama muspa (sembahyang) di Pura Manik
Mas. Selanjutnya barulah beliau menuju ke Pura Penataran Agung
Besakih dengan berjalan kaki. Hal ini dilakukan karena wilayah antara Pura
Manik Mas sampai ke puncak disebut Telajakan Pura Besakih yaitu Soring
Ambal-ambal dan Luhuring Ambal-ambal. Oleh karenanya pula baik
sekali bila mulai sekarang dirintis jalan agar setiap orang yang akan
sembahyang ke Pura Penataran Agung
Besakih, terlebih dahulu turun dan sembahyang di Pura Manik Mas, dan kemudian
barulah setelah itu berjalan kaki ke Pura Penataran Agung
sehingga keagungan dan kemuliaan Pura Besakih ini akan semakin dapat dirasakan
serta diresapi.
4. Pura Bangun Sakti
Letaknya disebelah timur jalan raya, di mana
distanakan Triantabhoga yaitu Hyang Naga Basukih, Hyang Naga Sesa dan
Hyang NagaTaksaka. Piodalannya pada hari Buda Pon Watugunung. Di
samping itu setiap waktu tertentu diselenggarakan aci Pengangon dan
Ngusaba Posya pada hari Tilem sasih keenem. Di pura
inilah konon Danghyang Manik Angkeran di hidupkan kembali setelah beberapa
lamanya wafat akibat kesalahannya kepada Hyang Naga Basukih.
5. Pura Ulun Kulkul
Di sebelah barat jalan terletak Pura Ulun Kulkul di
mana Hyang Mahadewa distanakan. Sebuah kulkul (kentongan besar) terdapat
di pura ini dan dipandang sebagai kulkul yang paling utama dan mulia
dari pada semua kulkul yang ada di Bali. Di zaman dahulu setiap desa
atau banjar membuat kulkul, kulkul itu harus dipelaspas
dan dimohonkan tirta di Pura Ulun Kulkul, agar atas asung wara
nugraha Hyang Widhi Wasa, kulkul itu mempunyai taksu, yaitu
ditaati oleh krama desa atau krama pemaksan pura yang akan
memakai kulkul tersebut. Adapun piodalan di pura ini jatuh pada
hari Saniscara Keliwon Kuningan
atau tepat pada hari Raya Kuningan, sedang pada
setiap hari tilem ketiga diadakan
upakara aci Pengurip Bumi dan pada setiap hari tilem kaulu menghaturkan aci
sarin tahun. Aci Pengurip Bumi dimaksudkan untuk memohon agar semua
tanam-tanaman baik di sawah maupun di ladang menjadi subur dan sebagian kecil
dari hasil pertanian itu kemudian dipersembahkan yang dinamakan aci sarin
tahun. Jika ada Upakara-upakara Yadnya di Pura ini dan di Pura Penataran Agung, maka
semua bangunan Pelinggih yang terdapat di dalamnya harus dihias dengan pengangge-pengangge
sarwa jenar atau hiasan serba kuning.
6. Pura Merajan Selonding
Di sebelah utara Pure Ulun Kulkul dan agak masuk ke
barat dan jalan raya terdapat Pure Merajan Selonding. Dahulu kala pura ini
adalah Merajan dari Dalem Kesari Warmadewa yang diperkirakan pernah
mempunyai istana di Besakih dengan nama Bumi Kuripan. Raja Purana
Besakih dalam bentuk lontar yang sering disebut Prasasti Bredah
disimpan di pura ini, demikian pula seperangkat gamelan kuno yang bernama Selonding.
Dalam Lontar Catur Muni-Muni yaitu yang menceriterakan tentang asal mulanya ada
tabuh gamelan di Bali, dikatakan bahwa Bhagawan Narada mengajarkan para pertapa
menabuh gamelan dengan gamelan Selonding. Sementara itu dalam Markandeya
Purana ditegaskan bahwa Sang Yogi Markandeya juga memakai nama Hyang
Naradatapa. Apakah yang dimaksud dengan Bhagawan Narada ini Sang Yogi
Markandeya dan gamelan yang dipakainya itu gamelan selonding yang tersimpan di
pura ini, masih perlu diadakan penelitian lebih lanjut oleh para ahli. Piodalan
di pura merajan Selonding pada hari Wraspati Keliwon Warigadian.
7. Pura Goa
Ke utara dari Pura Manik Mas di sebelah
timur jalan raya terletak Pura Gua di mana Hyang Naga Basuki diistanakan. Di
sebelah timur Pura ini terdapat sebuah sungai dan pada tebingnya ada sebuah gua
besar, tetapi sekarang gua tersebut sudah tertimbun runtuhan tanah longsor.
Dalam ceritera tentang perjalanan Dang Hyang Sidimantra ke Besakih,
diceriterakan bahwa di gua inilah beliau setiap hari-hari tertentu
mempersembahkan haturan kepada Hyang Naga Basuki berupa empahan (susu),
madu dan telur. Juga di tempat ini Dang Hyang Manik Angkeran memotong ekor Naga
Basuki, sehingga Dang Hyang Manik Angkeran dipanggang sampai meninggal, tetapi
kemudian dihidupkan lagi setelah Dang Hyang Sidimantra (Ayah dan Dang Hyang
Manik Angkeran) dapat memasang kembali ekor Naga Basuki yang terpotong itu.
Menurut ceritera rakyat, dahulu kala gua itu tembus sampai ke Gua Lawah
Klungkung, sehingga pernah terjadi pada waktu ada sabungan ayam di Gua
Lawah, salah seekor ayam sabungan itu lari masuk ke Gua Lawah
kemudian dikejar terus oleh pemiliknya dan akhirnya ia keluar di gua Besakih.
Pada permukaan gua sekarang ini sudah diperbaiki sehingga memungkinkan orang
duduk untuk sembahyang atau semadi. Piodalan di pura Gua pada hari Buda Wage Kelawu atau Buda Cemeng Kelawu
8. Pura Banua Kawan
Pura Banua Kawan terletak di sebelah timur jalan raya
yaitu di timur parkir kendaraan menghadap ke selatan. Di sini diistanakan
Batari Sri dan hari piodalannya jatuh pada hari Sukra Umanis Kelawu. dahulunya di sebelah
timur pura ini agak ke selatan terdapat sebuah lumbung padi untuk tempat menyimpan
sebagian dari padi hasil sawah druwe Pura Besakih. Sekarang lumbung ini
sudah tidak ada dan akan diusahakan untuk dibangun kembali. Dengan adanya
lumbung ini diharapkan sebagai sarana permohonan untuk penginih-inih,
artinya segala yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan dapatlah
dipenuhi, meskipun sederhana tetapi cukup.
9. Pura Merajan Kanginan
Letaknya di sebelah timur Banua Kawan, yaitu di ujung
timur di tepi sebuah sungai menghadap ke selatan. Di sini distanakan Bhatara
rambut Sedana dan terdapat pelinggih untuk memulyakan Empu Bradah dan Bhatara
Indra. Adapun piodalannya jatuh pada hari Saniscara Keliwon Kerulut
atau tumpek Kerulut. Menurut
ceritera-ceritera yang pernah didengar oleh para orang-orang tua di Besakih,
konon Pura ini bekas merajan dan Danghyang Manik Angkeran sewaktu
beliau menjadi pertapa di Besakih.
10. Pura Hyang Haluh (Pura Jenggala)
Dari Pura Banua Kawan ke barat
melalui jalan setapak agak jauh ke dalam dan kemudian membelok ke utara akan
kita dapati Pura Jenggala di atas sebuah bukit kecil. Menurut masyarakat
setempat pura ini sering juga disebut Pura Hyang Haluh dan difungsikan
sebagai Kahyangan Prajapati. Hal ini bisa dimengerti karena agak ke
selatan dari Pura Jenggala terdapat tanah kuburan yang disebut Setra Agung.
Di pura ini terdapat beberapa patung batu yang agak kuno menyerupai seorang
resi, garuda dan lain lainnya, yang sakral dan dibuatkan pelinggih-pelinggih.
Banyak sekali ceritera rakyat yang dihubungkan dengan pura ini, ada yang
mengatakan bekas pertapaan Dyah Kulputih, ada yang mengatakan Kahyangan
Melanting dan ada pula yang memperkirakan semacam Pura Alas Angker.
11. Pura Basukihan
Di kaki Pura Penataran Agung
Besakih yaitu di sebelah kanan kalau kita akan menaiki tangga Pura Penataran Agung,
terdapat sebuah pura yang pelinggih induknya berupa meru tumpang pitu
(tingkat tujuh). Pura ini bernama Pura Basukihan di tempat mana menurut
perkiraan para sulinggih, Danghyang Markandeya menanam Pedagingan Pancadatu (lima
jenis logam dengan kelengkapan upakaranya). Pura Basukihan, Pura Penataran Agung dan Pura Dalem Puri adalah
induk dari Kahyangan Tiga di desa-desa yaitu pura Puseh, pura Desa
dan pura Dalem. Dari kelengkapan palinggih-palinggih yang
terdapat di masing-masing pura itu, demikian pula sastra-sastra agama yang ada
hubungannya dengan tata cara membangun suatu pura, nampak bahwa pura Basukihan
itu adalah pura Puseh Jagat, Pura Penataran Agung
berfungsi sebagai pura Desa Jagat dan Pura Dalem Puri sebagai
pura Dalem Jagat. Dengan demikian Pura Basukihan, Pura Penataran Agung dan Pura Dalem Puri adalah
pusat dan semua pura Puseh, pura Desa dan pura Dalem yang
terletak di manapun, sehingga pura Besakih secara keseluruhan adalah pura Penyungsung
Jagat. Adapun yang distanakan di pura ini ialah Hyang Naga Basuki. Hari Piodalannya
jatuh pada hari Buda Wage Kelawu atau Budha Cemeng Kelawu
12. Pura Penataran Agung
Di sebelah utara Pura Basukihan dinamai Pura
Penataran Agung. Di antara semua pura-pura yang termasuk dalam kompleks Pura
Besakih. maka Pura Penataran Agung ini adalah yang terbesar, terbanyak
bangunan-bangunan pelinggihnya, terbanyak jenis upakaranya dan
merupakan pusat dan semua pura yang ada di Besakih. Dalam Raja Purana Besakih
dikatakan bahwa Pura Penataran Agung Besakih adalah tempat Pesamuaning
Batara Kabeh.
13. Pura Batu Madeg
Untuk mencapai Pura Batu Madeg ini kita berjalan kaki keutara disebelah
Barat Suci dan kemudian membelok sedikit ke Barat.
Pura ini cukup luas di mana di dalamnya banyak terdapat palinggih-palinggih
dan meru. Palinggih pokok adalah stana Hyang Widhi Wasa dalam
manifestasinya sebagai Hyang Wisnu berupa meru tumpang 11. Upakara
Yadnya atau Pangaci di pura Batu Madeg terdiri dari piodalan
pada hari Soma Umanis Tolu, Ngusabha
Warigadian pada hari penanggal 5 sasih kelima dan Benaung
Bayu pada hari tilem sasih kelima.
Bila terdapat karya-karya agung di pura Besakih demikian pula pengaci
di pura Batu madeg, maka semua palinggih-palinggih yang terdapat di Pura
ini dihias dengan pengangge-pengangge Palinggih seperti ider-ider,
Lelontek, Pedapa dan lain-lainnya dengan warna serba hitam.
14. Pura
Batu Kiduling Kreteg
Dari Pura Penataran Agung ke
timur melewati jalan setapak di sebelah menyebelah pura-pura Pedharman
dan pada ujung timur terdapat Pura Kiduling Kreteg, yaitu di sebelah Timur
sungai melalui sebuah jembatan. Luas Pura ini demikian pula jumlah palinggih-palinggihnya
hampir sama dengan Pura Batu Madeg, di mana pelinggih
pokoknya Meru tumpang 11 kahyangan Sang Hyang Widhi Wasa dalam
manifestasinya sebagai Hyang Brahma. Di dalam lontar-lontar Pura ini kadang-kadang
dinamai Pura Dangin Kreteg dan kadang Pura Kiduling Kreteg,
mungkin karena tempatnya seolah-olah berada di sebelah timur jembatan dan
seolah-olah di sebelah selatan jembatan kalau kita sedang berada di Pura Penataran Agung . Ini
bisa dimengerti karena Pura Besakih sesungguhnya tidak sepenuhnya menghadap ke
Selatan tetapi agak miring kearah Barat berhadapan dengan Pura Luhur Uluwatu di
desa Pecatu Kabupaten Badung. Ini pulalah sebabnya Pura Luwur Uluwatu dan Pura
Besakih Hyang Hyangning Segara Ukir atau Hyang Hyangning Segara Gunung dalam
arti Pura Luhur Uluwatu berfungsi Predana dan Pura Besakih Purusa.
Piodalannya jatuh pada Anggara Wage Dungulan atau Penampahan
Galungan, sedang Aci Panyebab Brahma diselenggarakan setahun
sekali pada hari purnama sasih Kaenem. Aci
Panyebab Brahma adalah untuk memohon agar padi di sawah tidak merana dan
hangus kekeringan. Dalam karya-karya di pura Kiduling Kreteg, semua penganggen
pelinggih berwarna merah
15. Pura Gelap
Dari jalan setapak di sebelah timur Pura Penataran Agung ke
utara (jalannya agak menanjak kira-kira 5 menit perjalanan), terdapat Pura
Gelap di ketinggian. Pelinggih pokok berupa Meru tumpang 3 di sana
distanakan Hyang Iswara, di samping sebuah Padma, Palinggih Ciwa Lingga,
Bebaturan Sapta Petala, Bale Pewedaan dan Bale Gong. Piodalan
di Pura Gelap jatuh pada hari Soma Keliwon Wariga dan Aci
Pengenteg Jagat pada setiap hari Purnama sasih Karo.
Di sinilah pura tempat umat maturan dan memohon kedamain pikiran dan kesejahteraan hidup sesuai dengan makna pengacinya yang disebut Aci Pengenteg Jagat. Pada waktu karya-karya di Pura Besakih semua pengangge-pengangge di Pura ini berwama serba putih.
Di sinilah pura tempat umat maturan dan memohon kedamain pikiran dan kesejahteraan hidup sesuai dengan makna pengacinya yang disebut Aci Pengenteg Jagat. Pada waktu karya-karya di Pura Besakih semua pengangge-pengangge di Pura ini berwama serba putih.
16. Pura
Pengubengan
Pura Pengubengan ini letaknya ke utara dari Pura Penataran Agung
melalui jalan setapak kira-kira 30 menit perjalanan. Di sini terdapat pelinggih
pokok meru tumpang 11 di samping bale gong, bale Pelik, Piyasan, Candi
Bentar dan tembok penyengker. Di sinilah pelinggih Pesamuhan
Bhatara Kabeh sebelum Bhatara Turun Kabeh di Penataran Agung. Di
antara pura-pura lainnya yang ada di Besakih, letak Pura Pengubengan ini yang
tertinggi. Jika masyarakat bermaksud mempersembahkan aturannya kepuncak Gunung
Agung akan tetapi tidak mampu karena tingginya, maka cukup aturan itu
dipersembahkan di Pura Pengubengan ini. Sama halnya dengan dan Pura Peninjoan, dari
sinipun pemandangan alam kelihatan indah sekali, akan tetapi Pura Penataran Agung tidak
nampak. Sesungguhnya baik sekali apabila pada hari-hari tertentu, (Rerainan)
kita dapat pedek tangkil serta mempersembahkan aturan di Pura Peninjoan dan Pura
Pengubengan secara berombongan, karena di samping hal-hal berkunjung ke Pura
Pura itu termasuk Yadya yang disebut Tirtha Yatra, juga kita
mengetahui secara langsung pura-pura itu. Piodalan di Pura Pengubengan
jatuh pada hari Budha Wage Kelawu.
17. Pura Batu Tirtha
Tempatnya tidak begitu jauh dan Pura Pengubengan yaitu
disebelah timurnya kira-kira 10 menit perjalanan. Di sini terdapat sumber tirtha
atau air suci yang dipergunakan bila ada karya-karya agung di Pura Besakih
ataupun karya-karya agung di desa-desa pekraman, demikian pula di
sanggar-sanggar pemujaan umat seperti di sanggah maupun merajan. Piodalan
di pura Tirtha jatuh pada hari
Budha Wage Kelawu.
18. Pura Batu Peninjoan
Letak Pura ini agak kebarat-laut dari Pura Batu Madeg, melalui
jalan setapak, menuruni lembah dan menyelusuri pinggir sungai kering tegalan
penduduk. Perjalanan kurang lebih atarara 15 sampai 25 menit dan kita akan
sampai di Pura Peninjoan disebuah bukit kecil. Di sana terdapat sebuah Meru
tumpang 9. Dari tempat inilah konon Empu Kuturan meninjau wilayah Desa
Besakih yang sekarang menjadi tempat pelinggih-pelinggih di Pura Penataran Agung dan
sekitarnya, sewaktu beliau merencanakan pembanguan dan memperluas Pura Besakih
ini yang di masa yang lalu tidak sebanyak yang kita saksikan sekarang. Di
tempat inilah Empu Kuturan menjalankan tapa yoga samadhi bila beliau ke Besakih. Ajaran-ajarannya tentang tata cara membangun pura, membuat pelinggih
meru, kahyangan tiga, Asta Kosala Kosali dan lain-lainnya sampai sekarang
masih dipraktekkan oleh segenap lapisan masyarakat Hindu. Setelah beliau wafat
beliau tidak lagi disebut Empu Kuturan, tetapi Bhatara Empu Kuturan, karena
beliau dipandang sebagai Awatara atau Dewa Kemanungsan tidak
ternilai besar jasanya dalam menuntun masyarakat Umat Hindu dan untuknya
distanakan di Meru tumpang 9 di Pura Peninjoan ini, selain di tempat-tempat
lain seperti di Silayukti (Padangbai - Karangasem). Dari Pura Peninjoan, semua pelinggih
di Pura Penataran Agung dapat
dilihat dengan jelas, demikian pula pantai dan daratan pulau Bali di sebelah
selatan kelihatan indah sekali. Selain dari meru tumpang 9, pura ini
juga dilengkapi dengan dua buah Bale Pelik dan Piyasan. Piodalan
di Pura Peninjoan pada hari Wraspati Wage Tolu.
19. Komplek Pedarman
Disini
terdapat banyak pura yang mendapingi pura penataran agung. Dimana pada pedarman
ini di sentanakan para tokoh dan para maha resi yang berjasa didalam mewujudkan
tujuan di bangunnya pura besakih maupun yang ikut mewujudkan kemakmuran rakya
bali
Bab III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Keberadaan
fisik bangunan Pura Besakih, tidak sekedar tempat ibadah terbesar di pulau
Bali, namun didalamnya memiliki keterkaitan latar belakang dengan makna Gunung
Agung. Sebuah gunung tertinggi di pulau Bali yang dipercaya sebagai arwah serta
alam para Dewata. Terdapatnya pura besakih di bali adalah sebagai tempat
penyerahan dan rasa syukur umat hindu ke pada para dewa dan juga kepada para
leluhur yang sudah memberikan kemakmuran. Dan juga sebagai tempat menyadarkan
diri manusia akan jati dirinya tentang bagaimana kebesaran tuhan untuk
melindungi umatnya dan memeliharanya, dengan demikian pura besakih akan disebut
sebagai tempat menjalin hubungan yang harmonis baik itu kepada tuhan , manusia,
dan lingkungan. Dan hanya Dengan dharma sebagai landasan filosofi membangun SDM
yang berkualitas dan dengan Rta sebagai landasan filosofi menjaga sistem alam
yang lestari sepanjang masa. Tanpa dharma dan Rta manusia dan alam akan saling
menghancurkan. Tentunya yang akan paling merasakan derita itu adalah manusia
itu sendiri. Karena itu marilah makna lebih nyata pemujaan kita pada Tuhan
untuk meningkatkan keseimbangan antara gaya hidup kita dengan daya dukung alam
demi kelangsungan hidup ini.
3.2 Saran
Saran kami kepada pembaca, mari kita sama – sama ikut serta melestarikan
warisan leluhur yang agung ini yaitu Pura Besakih yang sebenranya tempat ini
kita ditujukan untuk selalu memuja dan bersyukur kepada tuhan.kami mengharapkan
kepada semua umat hindu yang ada di Bali maupun diluar Bali, untuk selalu ingat
akan kebesaran tuhan karna berkat beliau kita bisa merasakan apa yang kita
daptkan selama kita hidup. Dan bersyukurlah kepadanya, sadarkan diri anda bahwa
sesungguhnya kita adalah ciptaanya, bersujudlah kehadapanya sebelum terlambat.
DAFTAR
PUSTAKA
3. Sivanada Swami sri, ALL ABOUT
HIDUISME ( intisari ajaran Agama Hindu ), The Divine Life Society / Paramita
surabaya, surabaya 1993
4. Pudja MA dan Tjokorda rai
sudharta MA, Manawa Dharma Sastra atau Weda Semerti, Departemen Agama RI
1976/1977
5. Mantra, Prof.Dr.IB. Bhagawad gita. Parisada Hindu dharma Pusat Denpasar
6. Dewa sucita,Buah catatan mata kuliah Tattwa dan Tantra
Komentar
Posting Komentar